Mengapa kita harus kembali ke Dinar dan Dirham ?
Mengapa kita harus kembali ke Dinar dan Dirham ? |
Kepopuleran Dinar dan Dirham sebagai alat tukar terjadi pada masa Rasulullah dan masa ke Khalifahan masih ada. Penegakan model alat pembayaran ini terjadi ketika Islam menjadi sistem hidup di semua aspek (berkonsep Daulah), yang membuat kejayaannya nyata terwujud. Ketika Daulah Usmani runtuh, konsep Islam sebagai sistem hidup bermasyarakat (ber-daulah) meluntur dan hilang. Hingga saat ini, kebanyakan penganutnya condong memahami Islam hanya dalam ruang lingkup keagamaan dan ritual. Bersifat lebih individualis, dan jika berjamaahpun, masih dalam kategori jamaah berbatas alias masih jauh dari Tauhid.
Konsep Islam ber-daulah sejatinya merupakan pondasi utama untuk mengembalikan kejayaan Islam dan memberlakukan hukum Allah, untuk seluruh umat manusia. Karena dengan cara itulah, umat Islam bisa melaksanakan perintah untuk “Masuk kedalam Islam secara keseluruhan” (QS. 2/208) , dan umat manusia beragama lain juga turut merasakan sistem Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamiin. Silahkan baca Negara Islam, Yes or No ?.
Uang Kertas Tidak Memenuhi Syarat Alat Transaksi
Sejatinya, alat tukar dalam jual beli bisa apa saja asalkan mengandung unsur :
1. Ridho sama Ridho
2. Berlaku universal (kepada siapa, dimana saja)
3. Kesetaraan harta yang ditukar
4. Di bayar Tunai (karna jika tidak tunai, maka masuk ranah hutang-piutang).
Jika mengacu pada empat kriteria tersebut, uang kertas yang kita gunakan hingga saat ini sebenarnya tidak memenuhi keempat persyaratan jual beli. Contoh uang kertas Rp 4.000, bisa digunakan di Indonesia untuk membeli sebotol air mineral 600 ml, namun tidak bisa digunakan untuk membeli benda yang sama di Amerika Serikat (AS). Artinya, tidak semua manusia ridho dengan kertas bertuliskan RP 4.000 itu, karena di AS, Rp 1 berbeda nilainya dengan $ 1 US, padahal bahan dasar uang tersebut sama, yakni kertas yang sejatinya tak bernilai tinggi, karena melimpah bahan baku nya.
Contoh tersebut juga menjelaskan bahwa uang kertas yang kita punya belum tentu berlaku di negara lain. Ketika kita berada di AS, maka uang kertas yang berlaku haruslah US dollar. Oleh karenanya sifat uang kertas menjadi tidak universal. Hanya berlaku untuk masyarakat tertentu, di wilayah tertentu.
Jika ditinjau dari kesetaraan harta yang ditukar, uang kertas juga tidak memenuhi syarat dilihat dari sisi bahan dasarnya. Uang kertas dengan nominal berapapun (kecil atau besar), terbuat dari bahan sama yang melimpah yakni kertas. Uang kertas sejatinya hanyalah sebuah kwitansi, alias surat hutang bank kepada kita, yang terlanjur menjadi keyakinan di masyarakat, bahwa ada benda berharga dibalik uang kertasi itu (emas), hingga membuat uang kertas dianggap memiliki nilai. Bagaimana awal mula kondisi ini terjadi, silahkan cek artikel Ilusi Uang Kertas
Jika emas yang mem-backup uang kertas itu memang ada, maka pada dasarnya jenis alat tukar ini tetap saja tidak bisa memenuhi syarat transaksi penukaran harta atau jasa. Syarat benda yang bisa dijadikan alat tukar harus Tunai, Kontan alias Cash, sementara uang kertas hanyalah cek atau kwitansi, yang kini telah “Kosong”.
Sejatinya, alat tukar dalam jual beli bisa apa saja asalkan mengandung unsur :
1. Ridho sama Ridho
2. Berlaku universal (kepada siapa, dimana saja)
3. Kesetaraan harta yang ditukar
4. Di bayar Tunai (karna jika tidak tunai, maka masuk ranah hutang-piutang).
Jika mengacu pada empat kriteria tersebut, uang kertas yang kita gunakan hingga saat ini sebenarnya tidak memenuhi keempat persyaratan jual beli. Contoh uang kertas Rp 4.000, bisa digunakan di Indonesia untuk membeli sebotol air mineral 600 ml, namun tidak bisa digunakan untuk membeli benda yang sama di Amerika Serikat (AS). Artinya, tidak semua manusia ridho dengan kertas bertuliskan RP 4.000 itu, karena di AS, Rp 1 berbeda nilainya dengan $ 1 US, padahal bahan dasar uang tersebut sama, yakni kertas yang sejatinya tak bernilai tinggi, karena melimpah bahan baku nya.
Contoh tersebut juga menjelaskan bahwa uang kertas yang kita punya belum tentu berlaku di negara lain. Ketika kita berada di AS, maka uang kertas yang berlaku haruslah US dollar. Oleh karenanya sifat uang kertas menjadi tidak universal. Hanya berlaku untuk masyarakat tertentu, di wilayah tertentu.
Jika ditinjau dari kesetaraan harta yang ditukar, uang kertas juga tidak memenuhi syarat dilihat dari sisi bahan dasarnya. Uang kertas dengan nominal berapapun (kecil atau besar), terbuat dari bahan sama yang melimpah yakni kertas. Uang kertas sejatinya hanyalah sebuah kwitansi, alias surat hutang bank kepada kita, yang terlanjur menjadi keyakinan di masyarakat, bahwa ada benda berharga dibalik uang kertasi itu (emas), hingga membuat uang kertas dianggap memiliki nilai. Bagaimana awal mula kondisi ini terjadi, silahkan cek artikel Ilusi Uang Kertas
Jika emas yang mem-backup uang kertas itu memang ada, maka pada dasarnya jenis alat tukar ini tetap saja tidak bisa memenuhi syarat transaksi penukaran harta atau jasa. Syarat benda yang bisa dijadikan alat tukar harus Tunai, Kontan alias Cash, sementara uang kertas hanyalah cek atau kwitansi, yang kini telah “Kosong”.
Kebebasan Memilih Alat Tukar
Tuhan mengharamkan umat manusia memakan harta sesama manusia secara bathil, kecuali dengan ke ridho-an antar manusia yang bertransaksi. Ke ridhoan ini bisa dikatakan sebagai kebebasan dalam memilih alat tukar, selama ke empat syaratnya terpenuhi.
Pada masanya, Rasulullah SAW mencontohkan kebebasan memilih alat tukar dengan menyebutkan, bahwa ada 6 alat tukar yang memenuhi syarat untuk menciptakan kondisi ridho tersebut. Alat tukar itu adalah Emas, Perak, Gandum, Jemawut (sejenis sereal berbiji kecil), Kurma dan Garam.
Dari 6 alat tukar tersebut, emas dan perak lah yang akhirnya lebih banyak dipakai masyarakat untuk menjadi alat tukar. Oleh karenanya disepakati bersama bahwa emas dan perak yang dimaksud di klasifikasikan dengan sebutan Dinar dan Dirham. Dimana Dinar mewakili koin emas murni 22 karat seberat 4.5 gram, sementara Dirham mewakili koin perak dengan ratio pebandingan 7 Dinar setara denagn 10 Dirham.
Emas dan Perak dapat memenuhi syarat kesetaraan alat tukar, hingga keadilan dalam jual beli dan ke ridho-an yang dimaksud bisa didapatkan. Dimanapun kita berada dan kepada bangsa manapun nantinya kita bertransaksi, emas dan perak akan diterima dan memiliki nilai yang sama (bebas inflasi).
Monopoli Alat Tukar
Hari ini kita semua telah dipaksa untuk menggunakan uang kertas dan uang digital untuk bertransaksi. Kedua model alat tukar ini hanya boleh diproduksi oleh bank sentral dalam suatu negara. Kalau anda membuat nya sendiri, maka jeruji besi akan anda rasakan. Uang yang beredar saat ini tidak lagi memiliki backup emas. Semua diproduksi berdasarkan permintaan dan kondisi pasar, yang aturan mainnya dimonopoli oleh pihak swasta, yang seolah mewakili kebijakan suatu negara.
Kondisi ini menimbulkan banyak kezaliman. Rakyat yang tidak memahami cara kerja sirkulasi uang, kian dihantui oleh momok inflasi. Secara sepihak, kita dipaksa menghadapi situasi, bahwa uang yang kita miliki diturunkan nilainya. Jerih payah masyarakat yang telah berjibaku, memeras keringat, hingga membanting tulang untuk mencari uang, seolah tak dihargai dengan adanya kebijakan zalim tersebut.
Selama sistem perbankan di negara-negara mengimplementasikan cara ini, maka Inflasi menjadi suatu kepastian bagi mata uang di belahan dunia manapun. Anda tidak bisa bertindak sendirian untuk mengembalikan kejayaan Heaven Currency yang merupakan ajaran Rasulullah. Perlu sistem daulah, perlu pemerintahan yang Haq agar Dinar dan Dirham yang merupakan bentuk paling ideal dari alat tukar, kembali populer dan mendunia.
Per hari ini perbandingan US dollar dan rupiah adalah $1 US : Rp 15.226. Sistem uang digital yang mengatasnamakan modernisasi, dan kemudahan bertransaksi adalah strategi musuh-musuh manusia tak ber-Tuhan untuk terus memaksa dan menjauhkan kita dari ajaran yang benar. Anda boleh percaya boleh tidak, namun uang jenis ini akan segera menjelma menjadi bom waktu inflasi dikarenakan sifatnya yang tidak mewakili harta rill, dan rentan dimanipulatif oleh monopoli para Bankster.
Tuhan mengharamkan umat manusia memakan harta sesama manusia secara bathil, kecuali dengan ke ridho-an antar manusia yang bertransaksi. Ke ridhoan ini bisa dikatakan sebagai kebebasan dalam memilih alat tukar, selama ke empat syaratnya terpenuhi.
Pada masanya, Rasulullah SAW mencontohkan kebebasan memilih alat tukar dengan menyebutkan, bahwa ada 6 alat tukar yang memenuhi syarat untuk menciptakan kondisi ridho tersebut. Alat tukar itu adalah Emas, Perak, Gandum, Jemawut (sejenis sereal berbiji kecil), Kurma dan Garam.
Dari 6 alat tukar tersebut, emas dan perak lah yang akhirnya lebih banyak dipakai masyarakat untuk menjadi alat tukar. Oleh karenanya disepakati bersama bahwa emas dan perak yang dimaksud di klasifikasikan dengan sebutan Dinar dan Dirham. Dimana Dinar mewakili koin emas murni 22 karat seberat 4.5 gram, sementara Dirham mewakili koin perak dengan ratio pebandingan 7 Dinar setara denagn 10 Dirham.
Emas dan Perak dapat memenuhi syarat kesetaraan alat tukar, hingga keadilan dalam jual beli dan ke ridho-an yang dimaksud bisa didapatkan. Dimanapun kita berada dan kepada bangsa manapun nantinya kita bertransaksi, emas dan perak akan diterima dan memiliki nilai yang sama (bebas inflasi).
Monopoli Alat Tukar
Hari ini kita semua telah dipaksa untuk menggunakan uang kertas dan uang digital untuk bertransaksi. Kedua model alat tukar ini hanya boleh diproduksi oleh bank sentral dalam suatu negara. Kalau anda membuat nya sendiri, maka jeruji besi akan anda rasakan. Uang yang beredar saat ini tidak lagi memiliki backup emas. Semua diproduksi berdasarkan permintaan dan kondisi pasar, yang aturan mainnya dimonopoli oleh pihak swasta, yang seolah mewakili kebijakan suatu negara.
Kondisi ini menimbulkan banyak kezaliman. Rakyat yang tidak memahami cara kerja sirkulasi uang, kian dihantui oleh momok inflasi. Secara sepihak, kita dipaksa menghadapi situasi, bahwa uang yang kita miliki diturunkan nilainya. Jerih payah masyarakat yang telah berjibaku, memeras keringat, hingga membanting tulang untuk mencari uang, seolah tak dihargai dengan adanya kebijakan zalim tersebut.
Selama sistem perbankan di negara-negara mengimplementasikan cara ini, maka Inflasi menjadi suatu kepastian bagi mata uang di belahan dunia manapun. Anda tidak bisa bertindak sendirian untuk mengembalikan kejayaan Heaven Currency yang merupakan ajaran Rasulullah. Perlu sistem daulah, perlu pemerintahan yang Haq agar Dinar dan Dirham yang merupakan bentuk paling ideal dari alat tukar, kembali populer dan mendunia.
Per hari ini perbandingan US dollar dan rupiah adalah $1 US : Rp 15.226. Sistem uang digital yang mengatasnamakan modernisasi, dan kemudahan bertransaksi adalah strategi musuh-musuh manusia tak ber-Tuhan untuk terus memaksa dan menjauhkan kita dari ajaran yang benar. Anda boleh percaya boleh tidak, namun uang jenis ini akan segera menjelma menjadi bom waktu inflasi dikarenakan sifatnya yang tidak mewakili harta rill, dan rentan dimanipulatif oleh monopoli para Bankster.
Buka juga :
Post a Comment for "Mengapa kita harus kembali ke Dinar dan Dirham ?"