Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

UU Cipta Kerja Tetap Berlaku Meski Salah Ketik?

UU Cipta Kerja Tetap Berlaku Meski Salah Ketik?


Kesalahan penulisan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap tidak berpengaruh terhadap implementasi undang-undang, tetapi ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan kesalahan itu berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum karena pasal tidak bisa diterapkan.

Ada salah ketik pada dua pasal undang-undang tersebut. Pasal 6 tentang “Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha” merujuk pada pasal 5 ayat (1) huruf a, tetapi tidak terdapat ayat atau huruf tersebut di pasal sebelumnya. Selain itu, pasal 175 yang mengubah pasal 53 UU Administrasi Negara juga salah rujukan.

“Pasal-pasal dalam sebuah undang-undang itu tidak bisa diterapkan berdasarkan imajinasi penerapnya saja, tapi harus benar-benar sesuai dengan yang tertulis. Akibatnya, kalau ada yang rujukannya salah seperti ini, dia sebenarnya punya potensi tidak bisa diterapkan sama sekali,” ujar Bivitri ketika dihubungi (5/11).

Bivitri mencontohkan kasus serupa yang juga pernah terjadi dan berdampak pada tidak berlakunya peraturan tersebut selama bertahun-tahun. Pada 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan terkait Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang mengalami salah ketik.

Mengatur soal sanksi terhadap pejabat negara yang melakukan pelanggaran saat pemilihan kepala daerah (pilkada), pasal 116 ayat (4) undang-undang tersebut yang semestinya mengacu pada pasal 80 justru tertulis mengacu pada pasal 83.

“Selama 6 tahun, pasal itu tidak bisa diterapkan. Karena, begitu diterapkan ke orang yang kena hukuman, dia bilang, ‘oh, sorry, kamu nggak bisa menerapkan ini ke saya. Itu salah kok pasalnya.’”

Ketika ada kesalahan atau perubahan dari sebuah undang-undang yang telah disahkan, peraturan tersebut hanya dapat diganti atau dibatalkan dengan undang-undang pula—yaitu melalui perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) atau melalui putusan MK. Jika menunggu putusan MK, prosesnya bisa bertahun-tahun lamanya.

Bivitri mencontohkan gugatan terhadap revisi UU KPK yang juga belum selesai sampai saat ini. “Itu masih ada 8 perkara, belum putus sampai sekarang. Jadi bisa lama sekali. Ketidakpastian hukum itu bisa berjalan setahun lebih, mungkin bertahun-tahun.”

Menurut Bivitri, pemerintah semestinya tidak lepas tangan dengan menunggu perkara masuk ke MK, apalagi dengan memperbaiki sendiri tanpa melalui proses hukum.

“Harusnya pemerintah yang bertanggung jawab. Kalau masalah semua orang bisa mengajukan ke MK, berarti kan dia lempar tanggung jawab. Dia bikin kerja jelek, terus dia nyuruh orang lain untuk beresin,” sebut Bivitri. “Kalau di balik meja, itu sudah menyalahi. Menurut saya itu kan mencabik-cabik moralitas demokrasi.”

Sebelumnya, Eddy Cahyono Sugiarto selaku Asisten Deputi Hubungan Masyarakat Kemensetneg menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku karena kekeliruan yang terjadi “tidak mengubah substansi” dan “bersifat administratif semata”.

“Oleh karena itu, kekeliruan tersebut tidak akan memberikan pengaruh pada norma yang diatur di dalamnya serta implementasi undang-undang dimaksud pada tataran teknis,” ujar Eddy dalam pernyataan tertulisnya (4/11).

Sanksi Disiplin terhadap Individu Sudah Cukup?

Eddy Cahyono Sugiarto menyatakan bahwa pejabat yang bertanggung jawab dalam proses penyiapan draf telah dijatuhkan sanksi disiplin.

Kesalahan tersebut, katanya, tidak mengandung unsur kesengajaan atau murni human error. Sebagai komitmen Kemensetneg untuk memperbaiki proses penyiapan RUU di masa mendatang, akan dilakukan pula peningkatan kendali kualitas dengan melakukan review terhadap Standar Pelayanan dan Standard Operation Procedure (SOP).

“Kemensetneg akan menjadikan temuan kekeliruan sebagai pelajaran berharga dan menjadi catatan serta masukan untuk terus menyempurnakan penyiapan RUU, agar kesalahan teknis tidak terulang kembali.”

Di satu sisi, upaya pemerintah untuk melakukan evaluasi perlu diapresiasi. Di sisi lain, penjatuhan sanksi kepada satu pejabat tersebut dinilai hanya menjadi “kambing hitam dari suatu proses yang sangat buruk”. Menurut Bivitri, kesalahan bukan hanya terjadi di satu orang, tetapi telah terjadi sejak awal proses perancangan undang-undang.

“Kesalahannya bukan pada satu orang itu, tapi secara umum semua anggota DPR dan para menteri dan stafnya yang ikut membahas, utamanya Kemenko Perekonomian dan Kementerian Hukum dan HAM. Menurut saya mereka yang bersalah dengan terlalu terburu-buru itu.”

Hingga disahkan pada rapat paripurna 5 Oktober lalu, naskah final UU Cipta Kerja belum juga ada. Naskah yang diketok pada saat itu berjumlah 905 halaman, tetapi kemudian direvisi menjadi 1.052 halaman, 1.035 halaman, 812 halaman, hingga kemudian Presiden Joko Widodo menandatangani versi 1.187 halaman.

“Ini nggak wajar loh. Saya kan memang kerjanya mengamati proses legislasi, ini terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan naskah revisi UU KPK, yang juga kita kritik, sudah ada sejak ketok pertama di pembicaraan tingkat satu. Setelah setuju, baru dibawa ke rapat paripurna yang biasanya sekitar 5-7 hari setelahnya. Sementara kemarin kan diketok tingkat satunya Sabtu malam, Senin sore-nya udah rapat.“

“Saya yakin yang salah bukan satu orang, tapi semua pembahas termasuk menteri-menteri dan jajaran bawahannya yang membiarkan sejak tanggal 3 Oktober tidak ada naskah asli sehingga menimbulkan kesimpangsiuran sampai ke belakang begini,” lanjutnya.



Buka juga :
Sajian Bagus
Sajian Bagus Sajian Bagus adalah blog yang menyajikan postingan yang bagus supaya dapat berguna dan bermanfa'at bagi yang membacanya. Silahkan kunjungi terus situs ini, dan bagikan jika dirasa bermanfaat agar orang lain mengetahuinya. Sebarkan kebaikan dimanapun dan kapanpun.

Post a Comment for "UU Cipta Kerja Tetap Berlaku Meski Salah Ketik?"